Minggu, 08 Januari 2012

asal usul kota yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara[1].
Periode I: 1945—1946
[Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945)
Tanggal 18[2][3] atau 19[4] Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya[2]. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi[4].
Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)
Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti[1]. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci[5]. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman[4].Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan[6].
Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945)
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi[2], barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 Wikisource-logo.svg. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama[6].
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.

dinamika pelaksanaan UUD 1945

Undang-Undang Dasar 1945
Dalam perkembangan dunia dan ilmu pengetahuan dan teknologi memasuki abad 21, hukum di Indonesia mengalami perubahan yang mendasar, hal ini adanya perubahan   terhadap  Undang-Undang Dasar 1945, perubahan  (amandemen) dimaksud sampai empat kali, yang dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999 mengamandemen 2 pasal, amandemen kedua pada tanggal 18 Agustus 2000 sejumlah 10 pasal, sedangkan amandemen ketiga pada tanggal 10 November 2001 sejumlah 10 pasal, dan amandemen keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 sejumlah 10 pasal serta 3 pasal Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan 2 pasal, apabila dilihat dari jumlah pasal pada Undang -Undang Dasar 1945 adalah berjumlah 37 pasal, akan tetapi setelah diamandemen jumlah pasalnya melebihi 37 pasal, yaitu menjadi 39 pasal hal ini terjadi karena ada pasal-pasal yang diamandemen ulang seperti pasal 6 A ayat 4, pasal 23 C.
 
1.      Struktur Pemerintahan Indonesia Berdasarkan UUD 1945
Demokrasi Indonesia merupakan sistem pemerintahan dari rakyat, dalam arti rakyat sebagai asal mula kekuasaan negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan suatu cita-citanya.
Demokrasi di Indonesia sebagaiman tertuang dalam UUD 1945 mengakui adanya kebebasan dan persamaan hak juga mengakui perbedaan serta keanekaragaman mengingat Indonesia adalah " Bhineka Tunggal Ika ". Secara filosofi bahwa Demokrasi Indonesia mendasarkan pada rakyat.
Secara umum sistem pemerintahan yang demokratis mengandung unsur-unsur penting yaitu :
a.      Ketertiban warga negara dalam pembuatan keputusan politik.
b.      Tingkat persamaan tertentu diantara warga negara.
c.      Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh warga      negara.
d.      Suatu sistem perwakilan.
e.      Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas.
Dengan unsur -unsur diatas maka demokrasi mengandung ciri yang merupakan patokan bahwa warga negara dalam hal tertentu pembuatan keputusan-keputusan politik, baik secara langsung maupun tidak langsung adanya keterlibatan atau partisipasi.
Oleh karena itu didalam kehidupan kenegaraan yang menganut sistem demokrasi, selalu menemukan adanya supra struktur politik dan infra struktur politik sebagai pendukung tegaknya demokrasi. Dengan menggunakan konsep Montesquiue maka supra struktur politik meliputi lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Di Indonesia dibawah  sistem  UUD 1945   lembaga-lembaga   negara  atau  alat-alat perlengkapan negara adalah :
a.      Majelis Permusyawaratan Rakyat
b.      Dewan Perwakilan Rakyat
c.      Presiden
d.      Mahkamah Agung
e.      Badan Pemeriksa Keuangan
Alat perlengkapan diatas juga dinyatakan sebagai Supra Struktur Politik. Adapun Infra Struktur Politik suatu negara terdiri lima komponen sebagai berikut :
a.      Partai Politik
b.      Golongan Kepentingan (Interest Group)
c.      Golongan Penekan (Preassure Group)
d.      Alat Komunikasi Politik (Mass Media)
e.      Tokoh-tokoh Politik
2.      Pembagian Kekuasaan
Bahwa kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat, dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :
a.      Kekuasaan Eksekutif didelegasikan kepada Presiden (Pasal 4  ayat 1 UUD 1945)
b.      Kekuasaan Legislatif, didelegasikan kepada Presiden dan DPR dan DPD (pasal 5 ayat   1, pasal 19 dan pasal 22 C UUD 1945).
c.      Kekuasaan Yudikatif,   didelegasikan   kepada   Mahkamah Agung (pasal 24 ayat 1 UUD 1945)
d.      Kekuasaan Inspektif atau pengawasan didelegasikan kepada Badan Pengawas   Keuangan (BPK)   dan   Dewan    Perwakilan   Rakyat (DPR), hal ini dimuat pada pasal 20 A ayat  1.
e.      Dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak ada kekuasaan Konsultatif, sebelum UUD diamandemen kekuasaan tersebut dipegang oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
 
3.      Sistem Pemerintahan Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen
Sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945, dikenal dengan Tujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara, namun tujuh kunci pokok tersebut mengalami suatu perubahan. Oleh karena itu sebagai Studi Komparatif sistem pemerintahan Negara menurut UUD 1945 mengalami perubahan.
a.      Indonesia ialah negara yang  berdasarkan atas hukum (Rechtstaat ).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat ), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat), mengandung arti bahwa negara,  termasuk didalamnya pemerintahan dan lembaga - lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun.
b.      Sistem Konstitusi
Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas).
Sistem ini memberikan penegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan - ketentuan konstitusi dan juga oleh ketentuan-ketentuan hukum lain merupakan produk konstitusional.
c.      Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi disamping MPR dan DPR.
Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, Presiden penyelenggara pemerintahan tertinggi disamping MPR dan DPR, karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat. UUD 1945 pasal 6 A ayat 1, jadi menurut UUD 1945 ini Preiden tidak lagi merupakan  mandataris MPR, melainkan dipilih oleh rakyat.
d. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
e. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden dalam melaksanakan tugas dibantu oleh menteri-menteri negara, pasal 17 ayat 1 (hasil amandemen).
f.        Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas, meskipun Kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan "Diktator" artinya kekuasaan tidak terbatas, disini Presiden adalah sudah tidak lagi merupakan mandataris MPR, namun demikian ia tidak dapat membubarkan DPR atau MPR.
g.      Negara Indonesia adalah negara hukum, negara hukum berdasarkan Pancasila bukan berdasarkan kekuasaan.
Ciri-ciri suatu negara hukum adalah :
a.      Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
b.      Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
c.      Jaminan kepastian hukum.
 
 
d.      Kekuasaan Pemerintahan Negara
Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945, Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden pasal 4 ayat 2  dalam melaksanakan tugasnya.
Menurut sistem pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, bahwa Presiden dipilih langsung oleh rakyat secara legitimasi. Presiden kedudukannya kuat, disini kekuasaan Presiden tidak lagi berada dibawah MPR selaku mandataris. Akan tetapi jika Presiden dalam melaksanakan tugas menyimpang dari Konstitusi, maka MPR melakukan Impeachment, pasal 3 ayat  3 UUD 1945 dan dipertegas oleh pasal 7A.  Proses Impeachment  agar bersifat adil dan obyektif harus diselesaikan   melalui   Mahkamah   Konstitusi, pasal 7B ayat 4 dan 5, dan jika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden melanggar hukum, maka MPR harus segera bersidang dan keputusan didukung 3/4 dari jumlah anggota dan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir pasal 7B ayat 7.
e.      Pemerintahan Daerah, diatur oleh pasal 18 UUD 1945
Pasal 18 ayat 1 menjelaskan bahwa Negara Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pasal 18 ayat 2 mengatur otonomi pemerintahan daerah, ayat tersebut menyatakan bahwa pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, atau pengertian otonomi sama artinya mengatur rumah tangga sendiri.
f.        Pemilihan Umum
Hasil amandemen UUD 1945 tahun 2002 secara eksplisit mengatur tentang Pemilihan Umum dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali, diatur pasal 22E ayat 1. Untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden pasal 22 E ayat  2.
Dalam pemilu tersebut landasan yang dipergunakan adalah Undang-Undang UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu.
g.      Wilayah Negara
Pasal 25A UUD 1945 hasil amandemen 2002 memuat ketentuan bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang - Undang.
h.      Hak Asasi Manusia Menurut UUD 1945
Hak asasi manusia tidaklah lahir mendadak sebagaimana kita lihat dalam "Universal Declaration of Human Right" pada tanggal 10 Desember 1948 yang ditanda-tangani oleh PBB. Hak asasi manusia sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan filosofis manusia yang melatarbelakangi.
Bangsa Indonesia didalam hak asasi manusia terlihat lebih dahulu sudah memiliki aturan hukumnya seperti dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 1 dinyatakan bahwa : "kemerdekaan adalah hak segala bangsa". Sebagai contoh didalam UUD 1945 pasal 28A menyatakan : "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memepertahankan hidup dan kehidupannya ".
Pasal 28A sampai dengan pasal 28J mengatur tentang hak asasi manusia didalam UUD 1945.
B.     Memahami Sistem Ketatanegaraan RI Berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945
  Sistem Konstitusi (Hukum Dasar) Republik Indonesia, selain tersusun dalam hukum dasar yang tertulis yaitu UUD 1945, juga mengakui  hukum dasar yang tidak tertulis. Perlu diperhatikan bahwa kaidah-kaidah hukum ketatanegaraan tidak hanya terdapat pada hukum dasar. Kaidah-kaidah hukum ketatanegaraan terdapat juga pada berbagai peraturan ketatanegaraan lainnya seperti dalam Tap. MPR, UU, Perpu, dan sebagainya.
Hukum dasar tidak tertulis yang dimaksud dalam UUD 1945 adalah Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan dan bukan hukum adat (juga tidak tertulis), terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
Meminjam rumusan (dalam teori) mengenai Konvensi dari AV. Dicey : adalah ketentuan yang mengenai bagaimana seharusnya mahkota atau menteri melaksanakan "Discretionary Powers ".
Dicretionary Powers  adalah kekuasaan untuk bertindak atau tidak bertindak yang semata-mata didasarkan kebijaksanaan atau pertimbangan dari pemegang kekuasaan itu sendiri.
Hal diatas yang mula-mula mengemukakan yaitu Dicey dikalangan sarjana di Inggris pendapat tersebut dapat diterima, lebih lanjut beliau memperinci konvensi ketatanegaraan merupakan hal-hal sebagai berikut :
a.   Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan (konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktek penyelenggaraan negara.
b.   Konvensi sebagai   bagian dari konstitusi   tidak dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan.
c.   Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tuntutan etika, akhlak atau politik dalam penyelenggaraan negara.
d.   Konvensi adalah ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary powers dilaksanakan.
Menyinggung ketatanegaraan adalah tak terlepas dari organisasi negara, disini muncul pertanyaan yaitu : apakah negara itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita pinjam "Teori Kekelompokan " yang dikemukakan oleh ; Prof. Mr. R. Kranenburg adalah sebagai berikut :
"Negara itu pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa dengan tujuan untuk menyelenggarakan kepentingan mereka bersama "
Maka disini yang primer adalah kelompok manusianya, sedangkan organisasinya, yaitu negara bersifat sekunder.
Tentang  negara muncul adanya bentuk negara dan sistem pemerintahan, keberadaan bentuk negara menurut pengertian ilmu negara dibagi menjadi dua yaitu : Monarchie dan Republik, jika seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk negara disebut Monarchie dan kepala negaranya disebut Raja atau Ratu. Jika kepala negara dipilih untuk masa jabatan yang ditentukan, bentuk negaranya disebut Republik dan kepala negaranya adalah Presiden.
Bentuk negara menurut UUD 1945 baik dalam Pembukaan dan Batang Tumbuh dapat diketahui pada pasal 1 ayat 1,  tidak menunjukkan adanya persamaan pengertian dalam  menggunakan istilah   bentuk  negara ( lihat alinea ke 4 ), "......... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, .........dst.  Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik ".
Dalam sistem ketatanegaraan dapat diketahui melalui kebiasaan ketatanegaraan (convention), hal ini mengacu pengertian Konstitusi, Konstitusi mengandung dua hal yaitu : Konstitusi tertulis dan Konstitusi tidak tertulis, menyangkut konstitusi sekelumit disampaikan tentang sumber hukum melalui ilmu hukum yang membedakan dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi dan substansi hukum sedangkan sumber hukum dalam arti formal adalah hukum yang dikenal dari bentuknya, karena bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, contoh dari hukum formal adalah Undang-Undang dalam arti luas, hukum adat, hukum kebiasaan, dan lain-lain.
Konvensi atau hukum kebiasaan ketatanegaraan adalah hukum yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara, untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan  mendinamisasi  kaidah-kaidah hukum perundang-undangan. Konvensi di Negara Republik Indonesia diakui merupakan salah satu  sumber hukum tata negara.
Pengertian Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 2 kelompok yaitu : Pembukaan, Batang Tumbuh yang memuat pasal-pasal, dan terdiri 16 bab, 37 pasal, 3 pasal aturan peralihan dan aturan tambahan 2 pasal. Mengenai kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, Pancasila merupakan segala sumber hukum. Dilihat dari tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR No. III/MPR/ 2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan peraturan perundang-undangan.

asal usul tata surya

Asal usul tata surya
Banyak hipotesis tentang asal usul Tata Surya telah dikemukakan para ahli, beberapa di antaranya adalah:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/e3/Pierre-Simon_Laplace.jpg/125px-Pierre-Simon_Laplace.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Pierre-Simon Laplace, pendukung Hipotesis Nebula
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/0b/GerardKuiper.jpg/125px-GerardKuiper.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Gerard Kuiper, pendukung Hipotesis Kondensasi
Hipotesis Nebula
Hipotesis nebula pertama kali dikemukakan oleh Emanuel Swedenborg (1688-1772)[1] tahun 1734 dan disempurnakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) pada tahun 1775. Hipotesis serupa juga dikembangkan oleh Pierre Marquis de Laplace[2] secara independen pada tahun 1796. Hipotesis ini, yang lebih dikenal dengan Hipotesis Nebula Kant-Laplace, menyebutkan bahwa pada tahap awal, Tata Surya masih berupa kabut raksasa. Kabut ini terbentuk dari debu, es, dan gas yang disebut nebula, dan unsur gas yang sebagian besar hidrogen. Gaya gravitasi yang dimilikinya menyebabkan kabut itu menyusut dan berputar dengan arah tertentu, suhu kabut memanas, dan akhirnya menjadi bintang raksasa (matahari). Matahari raksasa terus menyusut dan berputar semakin cepat, dan cincin-cincin gas dan es terlontar ke sekeliling matahari. Akibat gaya gravitasi, gas-gas tersebut memadat seiring dengan penurunan suhunya dan membentuk planet dalam dan planet luar. Laplace berpendapat bahwa orbit berbentuk hampir melingkar dari planet-planet merupakan konsekuensi dari pembentukan mereka.[3]
Hipotesis Planetisimal
Hipotesis planetisimal pertama kali dikemukakan oleh Thomas C. Chamberlin dan Forest R. Moulton pada tahun 1900. Hipotesis planetisimal mengatakan bahwa Tata Surya kita terbentuk akibat adanya bintang lain yang lewat cukup dekat dengan matahari, pada masa awal pembentukan matahari. Kedekatan tersebut menyebabkan terjadinya tonjolan pada permukaan matahari, dan bersama proses internal matahari, menarik materi berulang kali dari matahari. Efek gravitasi bintang mengakibatkan terbentuknya dua lengan spiral yang memanjang dari matahari. Sementara sebagian besar materi tertarik kembali, sebagian lain akan tetap di orbit, mendingin dan memadat, dan menjadi benda-benda berukuran kecil yang mereka sebut planetisimal dan beberapa yang besar sebagai protoplanet. Objek-objek tersebut bertabrakan dari waktu ke waktu dan membentuk planet dan bulan, sementara sisa-sisa materi lainnya menjadi komet dan asteroid.
Hipotesis Pasang Surut Bintang
Hipotesis pasang surut bintang pertama kali dikemukakan oleh James Jeans pada tahun 1917. Planet dianggap terbentuk karena mendekatnya bintang lain kepada matahari. Keadaan yang hampir bertabrakan menyebabkan tertariknya sejumlah besar materi dari matahari dan bintang lain tersebut oleh gaya pasang surut bersama mereka, yang kemudian terkondensasi menjadi planet.[3] Namun astronom Harold Jeffreys tahun 1929 membantah bahwa tabrakan yang sedemikian itu hampir tidak mungkin terjadi.[3] Demikian pula astronom Henry Norris Russell mengemukakan keberatannya atas hipotesis tersebut.[4]
Hipotesis Kondensasi
Hipotesis kondensasi mulanya dikemukakan oleh astronom Belanda yang bernama G.P. Kuiper (1905-1973) pada tahun 1950. Hipotesis kondensasi menjelaskan bahwa Tata Surya terbentuk dari bola kabut raksasa yang berputar membentuk cakram raksasa.
Hipotesis Bintang Kembar
Hipotesis bintang kembar awalnya dikemukakan oleh Fred Hoyle (1915-2001) pada tahun 1956. Hipotesis mengemukakan bahwa dahulunya Tata Surya kita berupa dua bintang yang hampir sama ukurannya dan berdekatan yang salah satunya meledak meninggalkan serpihan-serpihan kecil. Serpihan itu terperangkap oleh gravitasi bintang yang tidak meledak dan mulai mengelilinginya.

Sabtu, 07 Januari 2012

persetujuan antara indonesia dan singapura

PERSETUJUAN ANTARA
THE REPUBLIC OF INDONESIA
REPUBLIK INDONESIA
AND
DAN
THE REPUBLIC OF SINGAPORE
REPUBLIK SINGAPURA
FOR UNTUK
THE AVOIDANCE OF DOUBLE TAXATION AND THE PREVENTION OF FISCAL EVASION WITH RESPECT TO TAXES ON INCOME
TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK YANG BERKENAAN DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN
Article 1 Pasal 1
PERSONAL SCOPE
LINGKUP PRIBADI
This Agreement shall apply to persons who are residents of one or both of the Contracting States. Persetujuan ini berlaku terhadap orang-orang yang merupakan penduduk dari salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan.
Article 2 Pasal 2
TAXES COVERED
PAJAK-PAJAK YANG DICAKUP
  1. This Agreement shall apply to taxes on income imposed on behalf of each Contracting State, irrespective of the manner in which they are levied. Persetujuan ini berlaku terhadap pajak-pajak atas penghasilan yang dikenakan atas nama masing-masing Negara pihak pada Persetujuan, tanpa memperhatikan cara pemungutan pajak-pajak.
  2. There shall be regarded as taxes on income all taxes imposed on total income or on elements of income, including taxes on gains from the alienation of movable or immovable property and taxes on the total amount of wages or salaries paid by enterprises. Yang dianggap sebagai pajak atas penghasilan semua pajak yang dikenakan atas seluruh penghasilan atau atas unsur-unsur penghasilan, termasuk pajak-pajak atas keuntungan dari pemindahtanganan harta gerak atau harta tak gerak dan pajak-pajak atas jumlah keseluruhan upah atau gaji yang dibayarkan oleh perusahaan.
  3. The existing taxes to which this Agreement shall apply are: Para pajak-pajak yang berlaku Persetujuan ini adalah:
(a) (A)
In Singapore: di Singapura:
the income tax pajak penghasilan
(hereinafter referred to as "Singapore tax"); (Selanjutnya disebut sebagai "pajak Singapura");
(b) (B)
in Indonesia : di Indonesia:
-- -
the income tax (pajak penghasilan), and, to the extent provided in such income tax, pajak penghasilan (Pajak Penghasilan), dan, sejauh yang disediakan dalam pajak penghasilan tersebut,
-- -
the company tax (pajak perseroan) and pajak perusahaan (Pajak perseroan) dan
-- -
the tax on interest, dividends and royalties (pajak atas bunga, dividen dan royalty) pajak atas bunga, dividen dan royalti (Pajak Atas bunga, dividen murah royalti)
(hereinafter referred to as "Indonesian tax"). (Selanjutnya disebut sebagai "pajak Indonesia").
  1. This Agreement shall also apply to any identical or substantially similar taxes which are imposed after the date of signature of this Agreement in addition to, or in place of, the existing taxes. Persetujuan ini berlaku pula bagi setiap pajak yang serupa atau pada hakekatnya sama yang dikenakan setelah tanggal penandatanganan Persetujuan ini sebagai tambahan terhadap, atau sebagai pengganti dari, pajak-pajak yang ada. The competent authorities of the Contracting States shall notify each other of any significant changes which have been made in their respective taxation laws. Pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan akan saling memberitahukan setiap perubahan signifikan yang telah dibuat dalam undang-undang perpajakan masing-masing.
  2. If, by reason of changes made in the taxation law of either Contracting State, it seems desirable to amend any article of this Agreement without affecting the general principles thereof, the necessary amendments may be made by mutual consent by means of an exchange of diplomatic notes or in any other manner in accordance with their constitutional procedures. Jika, dengan alasan perubahan yang dilakukan dalam hukum perpajakan di Negara pihak pada Persetujuan baik, tampaknya diinginkan untuk mengubah setiap artikel dari Persetujuan ini tanpa mempengaruhi prinsip-prinsip umum daripadanya, amandemen diperlukan dapat dilakukan dengan persetujuan bersama melalui suatu pertukaran nota diplomatik atau dengan cara lain sesuai dengan prosedur konstitusional mereka.
  Article3 Pasal 3
GENERAL DEFINITIONS
DEFINISI UMUM
  1. In this Agreement, unless the context otherwise requires : Dalam Persetujuan ini, kecuali dalam konteks sebaliknya membutuhkan:
(a) (A)
(i) (I)
the term "Singapore" comprises the territory of the Republic of Singapore as defined in its laws and the adjacent areas over which the Republic of Singapore has sovereign rights or jurisdiction in accordance with the provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982; istilah "Singapura" meliputi wilayah Republik Singapura sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangannya dan daerah sekitarnya dimana Republik Singapura memiliki hak berdaulat atau yurisdiksi sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, 1982;
(ii) (Ii)
the term "Indonesia" comprises the territory of the Republic of Indonesia as defined in its laws and the adjacent areas over which the Republic of Indonesia has sovereign rights or jurisdiction in accordance with the provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982; istilah "Indonesia" meliputi wilayah Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangannya dan daerah sekitarnya dimana Republik Indonesia memiliki hak berdaulat atau yurisdiksi sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, 1982;
(b) (B)
the terms "a Contracting State" and "the other Contracting State" mean Indonesia or Singapore as the context requires; istilah "suatu Negara pihak pada Persetujuan" dan "Negara pihak pada Persetujuan lainnya" berarti Indonesia atau Singapura sebagai hubungan kalimatnya;
(c) (C)
the term "tax" means Indonesian tax or Singapore tax as the context requires; istilah "pajak" berarti pajak Indonesia atau Singapura pajak sebagai hubungan kalimatnya;
(d) (D)
the term "person" includes an individual, a company and any other body of persons which is treated as an entity for tax purposes; "orang" meliputi orang pribadi, perseroan dan setiap kumpulan lain dari orang-orang yang diperlakukan sebagai suatu entitas untuk tujuan perpajakan;
(e) (E)
the term "company" means any body corporate or any other entity which is treated as a body corporate for tax purposes; "perusahaan" berarti setiap badan hukum atau setiap entitas lain yang diperlakukan sebagai suatu badan hukum untuk tujuan perpajakan;
(f) (F)
the terms "enterprise of a Contracting State" and "enterprise of the other Contracting State" mean respectively an enterprise carried on by a resident of a Contracting State and an enterprise carried on by a resident of the other Contracting State; istilah "perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan" dan "perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya" berarti berturut-turut suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya;
(g) (G)
the term "national" means: istilah "warganegara" berarti:
(i) (I)
any individual possessing the nationality or citizenship of a Contracting State; setiap orang pribadi yang memiliki kewarganegaraan atau kewarganegaraan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan;
(ii) (Ii)
any legal person, partnership, association and any other entity deriving their status as such from the laws in force in a Contracting State; setiap badan hukum, kemitraan, asosiasi dan setiap entitas lain yang berasal status mereka sebagai tersebut dari hukum yang berlaku di suatu Negara pihak pada Persetujuan;
(h) (H)
the term "international traffic" means any transport by a ship or aircraft which is operated by an enterprise of one of the Contracting States, except when the ship or aircraft is operated solely between places in the other Contracting State; istilah "lalu lintas internasional" berarti setiap pengangkutan oleh kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan oleh suatu perusahaan dari salah satu Negara pihak pada Persetujuan, kecuali jika kapal atau pesawat udara itu semata-mata dioperasikan antara tempat-tempat di Negara pihak lainnya pada Persetujuan;
(i) (I)
the term "competent authority" means: "pejabat yang berwenang" berarti:
(aa) (Aa)
in the case of Indonesia, the Minister of Finance or his authorised representative; dalam kasus Indonesia, Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah;
(bb) (Bb)
in the case of Singapore, the Minister for Finance or his authorised representative. dalam kasus Singapura, Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah.
  1. As regards the application of this Agreement by a Contracting State, any term not defined in this Agreement shall, unless the context otherwise requires, have the meaning which it has under the laws of that Contracting State relating to the taxes which are the subject of this Agreement. Sehubungan dengan penerapan Persetujuan ini oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan, setiap istilah yang tidak didefinisikan dalam Persetujuan ini, kecuali konteksnya menentukan lain, memiliki arti yang telah di bawah undang-undang dari Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan pajak-pajak yang merupakan subyek dari ini kesepakatan.
Articel 4 Pasal 4
FISCAL DOMICILE
FISKAL KEDUDUKAN
  1. For the purposes of this Agreement, the term "a resident of a Contracting State" means any person who is resident in a Contracting State" for tax purposes of that Contracting State. This term shall not include a permanent establishment of a foreign enterprise which is treated as a resident for tax purposes. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah "penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan" berarti setiap orang yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan "untuk tujuan pajak Negara tersebut. Istilah ini tidak mencakup bentuk usaha tetap dari perusahaan asing yang diperlakukan sebagai penduduk untuk tujuan pajak.
  2. Where by reason of the provisions of paragraph 1 an individual is a resident of both Contracting States, then his status shall be determined in accordance with the following rules: Jika berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1 orang pribadi menjadi penduduk di kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka statusnya akan ditentukan sesuai dengan aturan berikut:
(a) (A)
he shall be deemed to be a resident of the Contracting State in which he has a permanent home available to him. ia akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak pada Persetujuan dimana ia memiliki rumah permanen yang tersedia baginya. If he has a permanent home available to him in both Contracting States, he shall be deemed to be a resident of the Contracting State with which his personal and economic relations are closest (centre of vital interests); Jika ia memiliki rumah permanen yang tersedia baginya di kedua Negara pihak pada Persetujuan, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak pada Persetujuan dengan mana hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang paling dekat (pusat kepentingan vital);
(b) (B)
if the Contracting State in which he has his centre of vital interests cannot be determined, or if he has not a permanent home available to him in either Contracting State, he shall be deemed to be a resident of the Contracting State in which he has an habitual abode; jika Negara pihak pada Persetujuan di mana ia memiliki pusat nya kepentingan vital tidak dapat ditentukan, atau jika ia bukan rumah permanen yang tersedia baginya di kedua Negara pihak pada Persetujuan, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak pada Persetujuan dimana ia memiliki kebiasaan tinggal;
(c) (C)
if he has an habitual abode in both Contracting States or in neither of them, the competent authorities of the Contracting States shall settle this question by mutual agreement. jika ia memiliki kebiasaan tinggal di kedua Negara pihak pada Persetujuan atau tidak dari mereka, pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan akan menyelesaikan masalah ini dengan kesepakatan bersama.
  1. Where by reason of the provisions of paragraph 1 a person other than an individual is a resident of both Contracting States, the competent authorities of the Contracting States shall settle the question by mutual agreement. Jika berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1 orang selain dari orang pribadi merupakan penduduk di kedua Negara pihak pada Persetujuan, pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan harus menyelesaikan pertanyaan dengan kesepakatan bersama.
Article 5 Pasal 5
PERMANENT ESTABLISHMENT
PEMBENTUKAN PERMANEN
  1. For the purposes of this Agreement, the term "permanent establishment" means a fixed place of business through which the business of the enterprise is wholly or partly carried on. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah "bentuk usaha tetap" berarti suatu tempat usaha tetap di mana usaha perusahaan seluruhnya atau sebagian dijalankan.
  2. The term "permanent establishment" shall include especially: Istilah "bentuk usaha tetap" terutama meliputi:
(a) (A)
a place of management; tempat manajemen;
(b) (B)
a branch; cabang;
(c) (C)
an office; suatu kantor;
(d) (D)
a factory; pabrik;
(e) (E)
a workshop; bengkel;
(f) (F)
a farm or plantation; suatu pertanian atau perkebunan;
(g) (G)
a mine, an oil or gas well, a quarry or other place of extraction of natural resources; suatu tambang, suatu sumur minyak atau gas, suatu penggalian atau tempat pengambilan sumber daya alam;
(h) (H)
a building site or construction, installation or assembly project which exists for more than 183 days; suatu lokasi pembuatan bangunan atau konstruksi, instalasi atau proyek perakitan yang berlangsung untuk lebih dari 183 hari;
(i) (I)
the furnishing of services, including consultancy services, by an enterprise through an employee or other person (other than an agent of an independent status within the meaning of paragraph 7) where the activities continue within a Contracting State for a period or periods aggregating more than 90 days within a twelve- month period. pemberian jasa, termasuk jasa konsultasi, oleh suatu perusahaan melalui karyawan atau orang lain (selain agen yang bertindak bebas dalam pengertian ayat 7) di mana kegiatan tersebut berlangsung dalam suatu Negara pihak pada Persetujuan untuk suatu masa atau periode menggabungkan lebih dari 90 hari dalam jangka waktu dua belas bulan.
  1. The term "permanent establishment" shall not be deemed to include: Istilah "bentuk usaha tetap" tidak akan dianggap meliputi:
(a) (A)
the use of facilities solely for the purpose of storage or display of goods or merchandise belonging to the enterprise; penggunaan fasilitas semata-mata untuk maksud menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
(b) (B)
the maintenance of a stock of goods or merchandise belonging to the enterprise solely for the purpose of storage or display; pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata untuk maksud menyimpan atau tampilan;
(c) (C)
the maintenance of a stock of goods or merchandise belonging to the enterprise solely for the purpose of processing by another enterprise; pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lainnya;
(d) (D)
the maintenance of a fixed place of business solely for the purpose of purchasing goods or merchandise or for collecting information for the enterprise; pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata untuk tujuan pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan;
(e) (E)
the maintenance of a fixed place of business solely for the purpose of advertising, for the supply of information, for scientific research or for similar activities which have a preparatory or auxiliary character, for the enterprise. pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata untuk tujuan periklanan, untuk penyediaan informasi, untuk penelitian ilmiah atau untuk kegiatan-kegiatan serupa yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan.
  1. An enterprise of a Contracting State shall be deemed to have a permanent establishment in the other Contracting State if it carries on supervisory activities in that other State for more than 6 months in connection with a construction, installation or assembly project which is being undertaken in that other State. Suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya jika perusahaan itu menjalankan kegiatan pengawasan di Negara lainnya selama lebih dari 6 bulan sehubungan dengan proyek konstruksi, instalasi atau perakitan yang sedang dilakukan dalam Negara lainnya.
  2. A person acting in one of the Contracting States for or on behalf of an enterprise of the other Contracting State other than an agent of an independent status to whom paragraph 6 of this Article applies shall be deemed to be a permanent establishment in the first-mentioned State, if: Seseorang bertindak di salah satu Negara pihak pada Persetujuan untuk atau atas nama suatu perusahaan dari Negara pihak lainnya selain dari agen yang berdiri sendiri dimana ayat 6 Pasal ini akan berlaku dianggap sebagai bentuk usaha tetap di yang disebutkan pertama Negara, jika:
(a) (A)
he has, and habitually exercises, in the first-mentioned State a general authority to conclude contracts for or on behalf of the enterprise, unless his activities are limited to the purchase of goods or merchandise for the enterprise; or dia telah, dan biasa latihan, di Negara yang disebut pertama otoritas umum untuk menutup kontrak-kontrak untuk atau atas nama perusahaan, kecuali kegiatannya terbatas pada pembelian barang-barang atau barang dagangan untuk perusahaan; atau
(b) (B)
he habitually maintains in the first-mentioned State a stock of goods or merchandise belonging to the enterprise from which he regularly delivers goods or merchandise for or on behalf of the enterprise. ia biasa mengurus di saham disebut pertama suatu Negara barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan, dimana ia secara teratur memberikan barang atau barang dagangan untuk atau atas nama perusahaan.
  1. Notwithstanding the preceding provisions of this Article, an insurance enterprise of a Contracting State shall, except in regard to re-insurance, be deemed to have a permanent establishment in the other Contracting State if it collects premiums in the territory of that other State or insures risks situated therein through a person other than an agent of an independent status to whom paragraph 7 applies. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, suatu perusahaan asuransi dari Negara pihak pada Persetujuan, kecuali dalam hal reasuransi, akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya jika perusahaan tersebut memungut premi di wilayah Negara lainnya itu atau mengasuransikan resiko yang terjadi disana melalui seseorang selain dari agen yang berdiri sendiri dimana berlaku ayat 7.
  2. An enterprise of a Contracting State shall not be deemed to have a permanent establishment in the other Contracting State merely because it carries on business in that other State through a broker, general commission agent or any other agent of an independent status, where such persons are acting in the ordinary course of their business. Suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya hanya karena perusahaan itu menjalankan usaha di Negara lainnya itu melalui makelar, agen komisi umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri, di mana orang tersebut bertindak dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim.
However, when the activities of such an agent are devoted wholly or almost wholly on behalf of the enterprise, he shall not be considered an agent of an independent status within the meaning of this paragraph. Namun, apabila kegiatan-kegiatan seperti agen dimaksud seluruhnya atau hampir seluruhnya atas nama perusahaan, ia tidak akan dianggap sebagai agen yang berdiri sendiri dalam arti ayat ini.
  1. The fact that a company which is a resident of a Contracting State controls or is controlled by a company which is a resident of the other Contracting State, or which carries on business in that other State (whether through a permanent establishment or otherwise), shall not of itself make either company a permanent establishment of the other. Kenyataan bahwa sebuah perusahaan yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan menguasai atau dikuasai oleh perusahaan yang merupakan penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya, atau yang menjalankan usaha di Negara lainnya itu (baik melalui suatu bentuk usaha tetap atau sebaliknya), wajib tidak dengan sendirinya membuat baik perusahaan usaha tetap dari yang lainnya.
Article 6 Pasal 6
INCOME FROM IMMOVABLE PROPERTY
PENGHASILAN TAK BERGERAK DARI PROPERTI
  1. Income derived by a resident of a Contracting State from immovable property situated in the other Contracting State may be taxed in that other State. Penghasilan yang diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dari harta tak gerak yang terletak di Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya.
  2. For the purposes of this Agreement, the term "immovable property" shall be defined in accordance with the laws of the Contracting State in which the property in question is situated. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah "harta tak gerak" istilah harus ditetapkan sesuai dengan undang-undang Negara pihak pada Persetujuan dimana properti tersebut berada. The term shall in any case include property accessory to immovable property, livestock and equipment used in agriculture and forestry, rights to which the provisions of general law respecting landed property apply, usufruct of immovable property and rights to variable or fixed payments as consideration for the working of, or the right to work, mineral deposits, oil or gas wells, quarries and other places or extraction of natural resources including timber or other forest produce. Istilah wajib dalam hal apapun termasuk aksesori properti untuk bergerak, ternak properti dan peralatan yang digunakan dalam pertanian dan kehutanan, hak-hak dimana ketentuan-ketentuan hukum umum menghormati kepemilikan tanah berlaku, usufruct dari harta tak gerak dan hak untuk pembayaran tetap atau variabel sebagai pertimbangan untuk kerja, atau hak untuk bekerja, deposit mineral, sumur minyak atau gas, tambang dan tempat-tempat lain atau ekstraksi sumber daya alam termasuk kayu atau hasil hutan lainnya. Ships, boats and aircraft shall not be regarded as immovable property. Kapal, perahu dan pesawat tidak akan dianggap sebagai harta tak gerak.
  3. The provisions of paragraph 1 shall also apply to income derived from the direct use, letting, or use in any other form of immovable property. Ketentuan-ketentuan ayat 1 berlaku pula terhadap penghasilan yang diperoleh dari penggunaan langsung, membiarkan, atau menggunakan dalam bentuk lainnya dari harta tak gerak.
  4. The provisions of paragraphs 1 and 3 shall also apply to the income from immovable property of an enterprise and to income from immovable property used for the performance of professional services. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 3 berlaku pula terhadap penghasilan dari harta tak gerak suatu perusahaan dan terhadap penghasilan dari harta tak gerak yang digunakan untuk kinerja pelayanan profesional.
Article 7 Pasal 7
BUSINESS PROFITS
KEUNTUNGAN BISNIS
  1. The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. Laba suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara itu kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other State but only so much of them as is attributable to that permanent establishment. Apabila perusahaan itu menjalankan usaha seperti tersebut di atas, laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak di Negara lainnya tetapi hanya banyak dari mereka yang dianggap berasal dari pendirian tetap tersebut.
  2. Where an enterprise of a Contracting State carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein, there shall in each Contracting State be attributed to that permanent establishment the profits which it might be expected to make if it were a distinct and separate enterprise engaged in the same or similar activities under the same or similar conditions and dealing wholly independently with the enterprise of which it is a permanent establishment. Jika suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana, akan ada di setiap Negara pihak pada Persetujuan dikaitkan dengan bentuk usaha tetap keuntungan yang mungkin diharapkan untuk membuat jika itu adalah berbeda dan terpisah perusahaan terlibat dalam kegiatan yang sama atau serupa dalam keadaan yang sama atau serupa dan berhubungan seluruhnya secara independen dengan perusahaan yang merupakan bentuk usaha tetap.
  3. In determining the profits of a permanent establishment, there shall be allowed as deductions expenses including executive and general administrative expenses, which would be deductible if the permanent establishment were an independent enterprise, insofar as they are reasonably allocable to the permanent establishment, whether incurred in the State in which the permanent establishment is situated or elsewhere. Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, akan ada dikurangkan biaya-biaya termasuk biaya administrasi eksekutif dan umum, yang akan dikurangkan jika pembentukan permanen suatu perusahaan independen, sejauh mereka cukup allocable bentuk usaha tetap, baik yang terjadi Negara dimana bentuk usaha tetap itu berada ataupun di tempat lain.
  4. If the information available to the competent authority is inadequate to determine the profits to be attributed to the permanent establishment of an enterprise, nothing in this Article shall affect the application of any law of that State relating to the determination of the tax liability of a person by the exercise of a discretion or the making of an estimate by the competent authority, provided that the law shall be applied, so far as the information available to the competent authority permits, in accordance with the principle of this Article. Jika informasi tersedia untuk pihak yang berwenang tidak memadai untuk menentukan laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha tetap dari suatu perusahaan, tidak ada dalam Pasal ini akan mempengaruhi penerapan hukum Negara yang berkaitan dengan penentuan kewajiban pajak seseorang dengan latihan diskresi atau pembuatan perkiraan oleh pejabat yang berwenang, dengan ketentuan bahwa hukum harus diterapkan, sejauh informasi yang tersedia untuk izin pejabat yang berwenang, sesuai dengan prinsip Pasal ini.
  5. For the purposes of the preceding paragraphs, the profits to be attributed to the permanent establishment shall be determined by the same method year by year unless there is good and sufficient reason to the contrary. Untuk tujuan ayat-ayat terdahulu, besarnya laba yang akan dikaitkan dengan usaha tetap harus ditentukan dengan metode yang sama tahun ke tahun kecuali jika terdapat alasan yang baik dan cukup untuk sebaliknya.
  6. Where profits include items of income which are dealt with separately in other Articles of this Agreement, then the provisions of those Articles shall not be affected by the provisions of this Article. Apabila laba usaha mencakup bagian-bagian penghasilan yang diatur terpisah di Pasal-pasal lain dari Persetujuan ini, maka ketentuan pasal-pasal tersebut tidak akan terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan Pasal ini.
  7. No profits shall be attributed to a permanent establishment by reason of the mere purchase by that permanent establishment of goods or merchandise for the enterprise. Tidak akan dianggap sebagai laba suatu bentuk usaha tetap dengan alasan pembelian hanya oleh bentuk usaha tetap dari barang-barang atau barang dagangan untuk perusahaan.